Saat ini, aku agak sedikit tergoda untuk mencoba nulis fiksi lagi. Motivasinya tumbuh dari sepotong novel serial Trio Detektif warisan kakak sepupuku. Buku-buku itu dulunya novel-novel detektif koleksinya yang 'dialokasikan' kepadaku saat ia akan kuliah di Jogja. Sejak itu buku-buku itu jadi dongeng pengantar tidur yang sempurna bagiku di setiap malamnya. Bisa dibilang, aku jatuh cinta sama keklasikannya. Warna kertasnya yang kecoklatan, font-font-nya yang gede-gede dan enak dibaca, serta joke-joke ceria khas era 80-an dalam cerita-ceritanya.
Ini mungkin perbedaan gaya bahasa novel-novel era itu dengan sekarang. Khususnya buku-buku anak dan remaja. Yaitu kesederhaan kata-katanya yang membuatku nggak habis pikir betapa sederhana dan asik dibacanya novel-novel ini. Bahkan setelah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia terasa nyaris kayak bukan terjemahan. Beda sama buku-buku terjemahan sekarang mungkin udah mengandung lebih banyak "joke-joke cerdas" dan ungkapan serta istilah yang mereferensikan budaya-budaya terbaru.
Karena itulah aku terinspirasi (baca: ngayal seandainya aku bisa) nulis seperti di novel-novel detektif remaja era 80-an itu, tanpa harus direpotkan dengan ornamen-ornamen atau pelajaran sastra kelas berat yang ujung-ujungnya bikin stres sendiri.
Dan karena bahan bakar utama untuk menulis adalah pengetahuan dan membaca, aku rasa akan butuh waktu sebelum aku benar-benar mulai nulis lagi.
btw, aku juga penggemar trio detektif nih, , ,, he he
ReplyDelete